Tanjungpinang, Kilasindo – Hery Firmansyah, SH, M.Hum, MPA menegaskan penyidikan kasus korupsi harus cepat dilakukan. Apabila mangkrak, maka dapat dikategorikan sebagai penghentian penyidikan yang tidak sah dan melawan hukum.
Menurut dia, penerbitan SP3 merupakan kewenangan lembaga yang menerbitkan. “Namun, harus ada koordinasi dan komunikasi dengan instansi lain,” kata Hery saat menjadi saksi ahli yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam sidang praperadilan melawan Kajati Kepri di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Rabu (9/10/2019).
Hery yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta ini menjelaskan hal itu untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan perwakilan KPK sebagai termohon II dalam sidang praperadilan atas mangkraknya penanganan kasus dugaan korupsi tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Natuna senilai Rp 7,7 miliar.
Hery menyatakan, penuntasan kasus korupsi harus memiliki kepastian hukum dan menyangkut hak asasi. “Masyarakat berhak mendapatkan keadilan dari aparat penegak hukum, termasuk upaya praperadilan untuk menguji kinerja penegak hukum dalam menangani perkara korupsi. Praperadilan adalah audit kinerja penegak hukum untuk terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,” tegasnya.
Sementara Pandapotan yang mewakili BPKP Kepri selaku termohon IV mempertanyakan kewenangan mereka sebagai auditor yang sering diminta aparat penegak hukum. Dia mempertanyakan apakah BPKP berwewenang melakukan perhitungan kerugian negara dalam perkara korupsi . “BPKP memenuhi kompetensi dan berwewenang melakukan audit,” ucapnya.
Usai sidang, Koordinator MAKI Boyamin Saiman selaku pemohon menerangkan bahwa Kajati Kepri sebagai termohon I dalam perkara tersebut telah melanggar Peraturan Jaksa Agung No. 039 Tahun 2010 tentang Tata Kelola Administrasi Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.
Pasal 24 dalam peraturan tersebut menyatakan pemenuhan melengkapi petunjuk oleh penyidik dibatasi selama 14 hari. Namun, kata Boyamin, hingga kini penyidik belum selesai memenuhi petunjuk penuntut dan berkas juga belum diserahkan kembali oleh penyidik kepada penuntut.
“Ternyata, berkas perkara saat ini masih ngendon di penyidik. Lha ini gimana ceritanya, kok batas waktu 14 hari terlampaui hingga lebih dari 120 hari,” kata Boyamin dengan mimik keheranan.
Boyamin menyatakan Kajati Kepri juga melanggar Pasal 46 Peraturan Jaksa Agung, yaitu penuntut dibatasi waktu 120 hari untuk mengembalikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Apabila penyidik tidak melengkapi petunjuk dan tidak mengembaikan berkas perkara kepada penuntut.
“Kejati Kepri nampaknya juga terbiasa melampaui batas waktu yang ditentukan atau expired dalam menangani perkara korups. Ini jelas berbanding terbalik dengan kenyataan kuasa hukum Kejati yang mempermasalahkan expired SKT MAKI. Makanya, jangan suka mempermasalahkan expired orang lain, karena Kejati sendiri juga banyak expired dalam menangani perkara korups,” kata Boyamin tersenyum.
Boyamin mengaku yakin mampu membuktikan bahwa Kejati Kepri telah melakukan penghentian penyidikan secara tidak sah sebagaimana dalil permohonan. Untuk itu, dia berharap hakim Guntur Kurniawan, SH mengabulkan gugatan dan memerintahkan Kejati Kepri untuk mempercepat penanganan perkara korupsi tunjangan perumahan DPRD Natuna.
“Putusan hakim adalah untuk mendorong Kejati Kepri berlari kencang. Jangan hanya klaim perkara masih jalan, tapi hanya jalan di tempat,” tegas Boyamin.
Dalam sidang tersebut juga terungkap bahwa jaksa penyidik di Kejati Kepri ternyata sudah melimpahkan berkas perkara tersangka tindak pidana korupsi tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Natuna ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada pertengahan Mei 2019.
Namun pada 27 Mei 2019, JPU mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, karena dinyatakan belum lengkap dan disertai petunjuk untuk dilengkapi penyidik. JPU memberikan petunjuk kepada penyidik untuk memeriksa saksi dan saksi ahli terkait detail pertanggungjawaban masing-masing tersangka.
Diberitakan sebelumnya, kasus korupsi tunjangan perumahan pimpinan dan anggota DPRD Natuna tahun 2011-2015 mencapai Rp7,7 miliar. Penanganan kasus tersebut sudah dua tahun menggantung di Kejati Kepri. Kejati Kepri telah menetapkan lima orang tersangka. Dua di antaranya mantan Bupati Natuna, Raja Amirullah dan Ilyas Sabli.
Selain itu, Ketua DPRD Natuna periode 2009 – 2014 Hadi Chandra, termasuk Sekda Kabupaten Natuna periode 2011-2016 Syamsurizon yang juga pernah menjabat sebagai Ketua tim TAPD serta Makmur selaku Sekretaris Dewan (Sekwan) Natuna periode 2009-2012.
Kelima orang tersebut ditetapkan jadi tersangka setelah tim penyidik tindak pidana khusus (Pidsus) di bawah pimpinan Kajati Kepri yang saat itu dijabat Yunan Harjaka, menyebutkan telah menemukan adanya alat bukti yang cukup dalam proses pengalokasian dan pencairan dana tunjangan perumahan unsur pimpinan dan anggota DPRD Natuna sejak 2011-2015. (*)