Beranda News Soal Berita 230 Petahana Potensial Salahgunakan Kekuasaan, Ini Klarifikasi Mendagri

Soal Berita 230 Petahana Potensial Salahgunakan Kekuasaan, Ini Klarifikasi Mendagri

Mendagri Tito Karnavian. (Ist)

Nusa Dua, Kilasindo – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mempertegas pernyataannya yang menyebut 230 petahana punya potensi akan mencalonkan diri kembali di Pilkada tahun 2020. Menurut dia, pernyataan itu rujukannya adalah dari Indeks Kerawanan Pemilu yang dikeluarkan oleh Bawaslu.

Namun,  Mendagri mengaku kaget saat membaca berita sebuah media online yang menulis pernyataannya yang diungkapkan dalam Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Pemerintahan Umum dan Deteksi Dini Mendukung Sukses Pilkada Serentak Tahun 2020 di Bali dengan tendensius. Dalam berita itu disebutkan, ia menyatakan 230 petahana itu berpotensi salahgunakan kewenangan. Ada kesalahan dalam memaknai ucapannya. Dia merasa perlu mengklarifikasi itu agar tidak ada informasi yang menyesatkan.

“Maksudnya ada potensi kurang lebih 230 kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang petahana dan berpotensi akan mencalonkan lagi, padahal itu kan bagian dari Indeks Kerawanan Pemilu yang dikeluarkan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu. Tidak maksud saya menyebut ada potensi penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan petahana, ” kata Mendagri.

Tidak hanya itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, khususnya Pasal 71, kata Tito, dengan rinci mengatur apa saja larangan bagi petahana atau kepala daerah yang hendak maju kembali dalam Pilkada. Pasal 71 ayat (1) misalnya dengan tegas menyatakan, pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI atau Polri dan kepala desa atau sebutan lain atau lurah dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Pasal 71 ayat (2) pun, mengatur dengan rinci larangan bagi petahana terkait dengan penggantian pejabat. Pasal 71 ayat (2) menyatakan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

“Ketentuan penggantian jabatan hanya untuk mengisi kekosongan jabatan dengan sangat selektif, serta tidak melakukan mutasi atau rotasi dalam jabatan, kemudian proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilaksanakan melalui seleksi terbuka sebagai amanat ketentuan Pasal 108 UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Apabila belum dilaksanakan seleksi terbuka, maka untuk mengisi kekosongan jabatan dapat diangkat Plt dengan mempedomani surat edaran dari BKN,” jelasnya.

Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada lanjut Tito juga mengatur larangan lain yang tidak boleh dilakukan petahana yang maju lagi dalam pencalonan. Dalam Pasal 71 ayat (3) disebutkan, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan terpilih. Tidak hanya itu, Pasal 71 ayat (4) menyatakan ketentuan seperti yang dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati atau Walikota. Dan, jika ada yang melanggar menurut Tito, ada sankinya yang diatur dalam Pasal 71 ayat (5).

“Pasal 71 ayat (5) menyatakan dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten atau Kota. Dan ayat (6) menyatakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tuturnya.

Tito juga menjelaskan tata cara penggantian pejabat di daerah. Kata dia penggantian pejabat di daerah dilakukan melalui beberapa tata cara. Pertama, Gubernur datau Plt atau Pj atau Pjs Gubernur mengajukan permohonan penggantian pejabat melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi.

Kedua, Bupati atau Walilta atau Plt,Pj atau Pjs Bupati dan Walikota mengajukan permohonan kepada Mendagri melalui Gubernur selaku wakil pemerintah pusat  melalui layanan aplikasi sistem informasi online layanan administrasi (SIOLA) Kemendagri dan e-mutasi.

Ketiga, Gubernur menerbitkan surat pengantar beserta dokumen kelengkapan usulan dalam waktu paling lama 7 hari kerja sejak surat permohonan penggantian pejabat di terima gubernur.

Keempat, dalam hal Gubernur tidak menerbitkan surat pengantar dakam jangka waktu 7  hari kerja, maka usulan  dapat diproses oleh Mendagri.

“Dengan demikian jelas bahwa pernyataan mengenai 230 potensi petahana tersebut merujuk pada data yang dikeluarkan Bawaslu, dan potensi itu juga merujuk pada undang-undang, dan perlu saya tegaskan kembali bukan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan pada Pilkada 2020, ini yang perlu diluruskan” kata Tito menegaskan.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar juga menyatakan hal serupa. Kata dia, pernyataan Mendagri itu maknanya hanya imbauan. Mengimbau  mereka yang jadi petahana dan akan kembali lagi maju dalam Pilkada agar jangan menyalahgunakan wewenang. Karena dalam Indek Kerawanan Pilkada yang dikeluarkan Bawaslu, hal itu ada disebutkan.

Artinya, mesti taat aturan. Dalam UU pun, telah diatur dengan tegas, terkait soal itu, mulai dari larangan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penegaoan calon sampai akhi masa jabatan, kecuali ada persetujuan tertulis dari menteri. Tidak hanya itu, petahana juga dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam enam bulan sebelum tanggal penetapan calon.

“Artinya UU juga telah memberi rambu-rambu agar petahana yang maju lagi dalam pencalonan tidak menyalahgunakan wewenangnya.  Ini yang harus ditaati petahana. Jadi Mendagri rujukannya UU dan Indek Kerawanan Pemilu yang dikeluarkan Bawaslu, bukan menyatakan bahwa petahana yang maju pasti atau berpotensi salahgunakan Wewenang. Ini hanya imbauan agar petahana itu taat kepada rambu UU. Karena ada sanksi yang diatur. Tujuan dan maksud Pak Mendagri ingin Pilkada itu berjalan demokratis. Kompetisinya fair dan adil,” kata Bahtiar. (RLS)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here