Kupang, Kilasindo – Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menetapkan siaga satu setelah hampir tiga ribu hewan ternak babi di lima kabupaten mati yang diduga terserang Virus African Swine Fever (ASF).
Lima kabupaten tersebut adalah Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang, dan Kota Kupang. Hanya Flores yang belum terjangkit, sehingga diperlukan langkah antisipatif terhadap pengendalian sekaligus memutus mata rantai penyebarannya.
Di awal tersedianya penerbangan menuju NTT pada Jumat (11/7/2020) lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) bergerak cepat dengan menurunkan tim investigasi. Tim bertugas untuk melakukan supervisi dan monitoring kasus Virus ASF NTT.
“Kami terjun langsung memantau guna mengambil langkah cepat dan strategis untuk menangani wabah ini,” kata Inspektur IV Inspektorat Jenderal Kementan, drh. IGMN Kuswandana selaku Ketua Tim Investigasi ASF saat beruadiensi dengan gubernur NTT, bupati, dan Dinas Pertanian Kabupaten Sikka, Kupang, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (14/7/2020).
Menurut Made, hal ini sejalan dengan arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo agar kasus virus ganas pada hewan ternak babi ini dapat segera diatasi, karena dapat merugikan peternak.
Virus ASF yang hingga saat ini belum ada vaksinnya di dunia ini mengakibatkan kematian dengan tingkat mortalitas dan morbiditas dapat mencapai 100 %. “Untuk itu, diperlukan aksi cepat,” katanya.
Sementara Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Badan Karantina Pertanian (Barantan), drh. Agus Sunanto yang hadir dan menjadi anggota tim menyebutkan, negara Timor Leste yang berada satu daratan dengan NTT telah lebih dulu melaporkan kejadian wabah Virus ASF di wilayahnya.
“Dengan letak geografis dalam satu daratan, maka NTT memiliki potensi dan peluang yang cepat dalam penularannya, seperti saat ini yang telah terjadi di lima kabupaten,” kata Agus.
Belum lagi ditambah dengan sistem pemeliharaan ternak babi secara umum yang masih dilepas-liarkan, sistem biosekuriti yang belum kuat, dan berbagai upaya penyelundupan komoditas babi serta produknya yang masih terjadi.
Agus mengungkapkan, pihaknya melalui wilayah kerja di NTT, yakni Karantina Pertanian Kupang dan Ende, telah melakukan optimalisasi pengawasan di berbagai pintu pemasukan seperti bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara dan akan terus ditingkatkan.
Penderasan informasi dan sosialisasi pada masyarakat juga telah dilakukan dan terus dijadikan bagian dari upaya pengawasan dan pengendalian. Kerja sama dengan Dinas Pertanian serta pihak terkait juga akan ditingkatkan.
“Kita tekan jumlah ternak babi terkena virus di lokasi kejadian sekaligus kita putus mata rantai penyebarannya di 17 kabupaten yang masih bebas,” papar Agus.
Pada saat yang bersamaan, Tim Investigasi ASF Kementan juga menuju Kabupaten Sikka, NTT, dimana terjadi kematian ternak untuk melakukan monitoring dan sosialisasi.
Turut hadir dalam tim tersebut, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa yang memberikan bantuan berbagai alat biosekuriti seperti sprayer dan desinfektan.
Sementara tim dari Balitbangtan yang terdiri dari BBLitvet, BBVet Denpasar, ditambah pejabat medik veteriner dan paramedik veteriner dari Karantina Pertanian Ende terjun langsung untuk melakukan pengambilan sampel ke rumah-rumah warga yang memiliki ternak babi.
Walaupun penyakit ini tidak bersifat zoonosis, tetapi dampaknya cukup signifikan bagi peternak. Untuk itu, pengawasan karantina pertanian perlu diperkuat dengan ancaman tindakan pidana bagi para pelaku yang melanggar peraturan karantina.
“Perlu memberikan efek jera agar tidak ada lagi yang coba-coba melanggar dan para pihak lebih serius dalam memperkuat pencegahan ASF ke NTT,” tutup Made. (Sir)