Bekasi, Kilasbekasi.id – Sayuti Melik dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai tokoh peristiwa Rengasdengklok dan pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pria bernama lengkap Mohamad Ibnu Sayuti ini lahir pada 22 November 1908 dari pasangan Abdul Mu’in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta.[1] Sedangkan ibunya bernama Sumilah.
Dia juga suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan pada zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.
Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink.
Peristiwa Rengasdengklok
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945.
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.
Teks Proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut.
Setelah selesai, dini hari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah Proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar Teks Proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat “Wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”.
Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia Merdeka, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1946, ia pernah ditangkap karena dianggap dekat dengan Persatuan Perjuangan dan dianggap bersekongkol serta turut terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan ’45 dan menjadi Wakil Cendekiawan.
Penghargaan
Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata.
Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputera Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).