Jakarta, Kilasindo – Pada masa mendatang, osteoporosis masih menjadi salah satu penyakit yang serius di Indonesia. Pada tahun 2050, Indonesia akan memiliki sekitar 237 juta penduduk. Dari jumlah itu, 71 juta penduduk berusia lebih dari 60 tahun. Berdasarkan hasil pengujian menggunakan mesin DXA, sebanyak 28,8% laki-laki dan 32,3% perempuan diperkirakan sudah osteoporosis. Dari laporan Perhimpunan Osteoporosis Indonesia, sebanyak 41,8 persen laki-laki dan 90 persen perempuan sudah memiliki gejala osteoporosis. Sedangkan 28,8% laki-laki dan 32,3% perempuan sudah menderita osteoporosis.
Untuk mencegah meningkatnya penderita osteoporosis, kini sudah ditemukan metode yang akurat untuk mendeteksi pengeroposan tulang dan mendeteksi tingkat kekuatan otot. Alat mendeteksi pengeroposan tulang disebut bone densitometry. Sedangkan alat mendeteksi tingkat kekuatan otot disebut comprehensive screening system for sarcopenia.
Dokter Spesialis Orthopedi Rumah Sakit Royal Taruma, dr. Hendradi Khumarga, SpOT, menjelaskan dasar pemeriksaan bone densitometry menggunakan sinar X-ray (sinar radioaktif). Mendeteksi pengeroposan tulang dengan bone densitometry hanya butuh waktu sekitar satu menit.
“Pasien cukup berbaring untuk diperiksa. Umumnya tulang-tulang yang jadi acuan untuk diperiksa adalah tulang belakang, tulang panggul, dan tulang pergelangan tangan,” kata dokter yang pernah mengikuti pendidikan fellowship joint replacement (penggantian sendi lutut dan panggul) di Singapore General Hospital.
Hendradi mengungkapkan, hasil pemeriksaan dengan bone densitometry dapat diinterpretasikan dalam suatau kurva dimana ada area warna hijau yang berarti normal (massa tulang tidak ada pengeroposan), warna kuning berarti hostioponia, dan warna merah berarti sudah terjadi osteoporosis.
Ada tiga manfaat pemeriksaan dengan bone densitometry, yakni: untuk mendiagnosis apakah seseorang menderita pengeroposan tulang atau tidak, untuk mengetahui tingkat pengeroposan tulang, dan untuk mengevaluasi hasil pengobatan. “Berdasarkan hasil penelitian, secara statistik pemeriksaan dengan alat bone densitometry ini sangat bermanfaat untuk menurunkan angka penderita patah tulang, terutama pada usia lanjut,” jelas Hendradi.
Sedangkan comprehensive screening system for sarcopenia digunakan untuk mendeteksi tingkat kekuatan otot. Selain tulang, menurut Hendradi, massa otot juga semakin lemah seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Kondisi ini disebut sarcopenia (penurunan massa otot).
Selain rangka tulang yang kuat, seseorang juga harus mempunyai otot yang kuat untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebab, otot yang kuat dibutuhkan untuk menggerakkan sendi-sendi tulang dan untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Hendradi menjelaskan, comprehensive screening system for sarcopenia merupakan alat yang reproducible untuk mendeteksi tingkat kekuatan otot. Artinya, jika digunakan dalam periode waktu yang berbeda, maka hasilnya dapat diketahui apakah kondisi otot bertambah kuat atau semakin lemah sesuai dengan pengobatan yang diberikan atau sesuai dengan kurun waktu umur. “Ini menjadi penting untuk mencegah suatu kelainan atau trauma yang dapat menyebabkan cedera pada tulang dan otot,” katanya.
Pengertian Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan penurunan kepadatan massa tulang dan memburuknya mikroarsitektur tulang yang menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Istilah osteoporosis berasal dari kata ‘osteo’ yang berarti tulang, dan ‘porosis’ yang berarti berlubang. Istilah populernya adalah tulang keropos.
Menurut dr. Hendradi Khumarga, SpOT, ada dua tipe osteoporosis, yakni osteoporosis tipe 1 (osteoporosis senilis) dan osteoporosis tipe 2. Osteoporosis tipe 1 (osteoporosis senilis) terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
“Semua orang, pria dan wanita, akan mengalami osteoporosis tipe 1 karena bertambahnya usia. Kepadatan massa tulang akan mencapai titik maksimal pada usia 30 tahun. Lewat dari usia 30 tahun, massa tulang makin menurun sampai terjadi pengeroposan tulang,” terangnya.
Sedangkan osteoporosis tipe 2 hanya terjadi pada wanita, karena berhubungan dengan adanya pasca menopause. Secara hormonal, wanita pada usia kira-kira 45 tahun ke atas akan mengalami kondisi menopause. Pada kondisi ini, wanita tidak lagi mengalami menstruasi karena hormon-hormonnya sudah mengalami penurunan. Pada kondisi inilah terjadi badai osteoporosis yang memperburuk kondisi kekuatan tulang wanita, sehingga gampang patah.
“Itu sebabnya, penderita osteoporosis lebih banyak wanita. Selain karena populasi wanita lebih banyak dari laki-laki, wanita juga mempuanyai dua faktor pengeroposan tulang, yakni senilis dan pasca menopause,” ungkap Hendradi.
Menurut Hendradi, osteoporosis rentan terjadi pada orang yang pernah mengalami patah tulang secara berulang. Juga rentan terjadi pada orang yang riwayat orangtuanya juga mudah patah tulang atau faktor keturunan.
“Osteoporosis juga rentan terjadi pada orang yang menderita penyakit tertentu. Misalnya, seseorang yang indung telurnya sudah diangkat atau oofoerektomi (oophoerectomy). Juga akibat penggunaan obat-obatan. Misalnya, penderita asma banyak mengonsumsi obat-obatan tipe stereoid, yang jika dikonsumsi dalam waktu lama akan menyebabakan pengeroposan tulang. Juga penyakit-penyakit autoimun yang dapat menyebabkan pengeroposan tulang,” paparnya.
Osteoporosis juga dikenal sebagai the silent killer (pembunuh senyap), karena tidak menimbulkan gejala-gejala yang mendorong si penderita harus berobat ke dokter. Umumnya, penderita berobat ke dokter setelah mengalami patah tulang. Dan, penyakit osteoporosis diketahui setelah dilakukan pemeriksaan medis dan hasilnya terjadi pengeroposan tulang.
Mencegah Osteoporosis
Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia kaya sinar matahari. Untuk itu, penduduk Indonesia seharusnya tidak mengalami pengeroposan tulang. Sebab, dengan adanya sinar matahari yang cukup pada kulit, maka provitamin D yang berguna untuk metabolisme kalsium dalam tulang dapat tercukupi dengan baik.
“Sayangnya, banyak orang berolahraga di lapangan terbuka memakai topi, pakaian lengan panjang, dan celana panjang, sehingga kulitnya tidak terekspos sinar matahari. Olahraga yang dilakukan tidak bermanfaat untuk meningkatkan metabolisme kalsium dalam tulang, karena kulitanya tidak terekspose sinar matahari,” katanya.
Untuk itu, Hendradi menyarankan olahraga dilakukan dengan pakaian yang lebih terbuka agar kulit terekspos sinar matahari. Untuk mendapatkan provitamin D, waktu olahraga yang paling bersahabat dilakukan pada pukul 7 sampai 9 pagi dengan durasi sekitar 30 menit. Jenis olahraga yang tepat untuk menguatkan massa tulang adalah senam aerobik, jalan cepat, jogging, dan bila memungkinkan berlari.
Selain berolahraga secara teratur, menurut Hendradi, pencegahan osteoporosis juga dapat dilakukan dengan mengonsumsi makanan yang mengandung banyak kalsium. Di Eropa, kata dia, banyak orang yang sejak kecil sudah mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung kalsium seperti susu dan keju.
Di Indonesia, orang tidak terbiasa mengonsumsi susu dan keju. Susu hanya dikonsumsi pada saat masih usia bayi. Namun demikian, jenis makanan yang mengandung kalsium tinggi sebenarnya banyak terdapat di Indonesia. Misalnya, ikan teri mempunyai kontribusi yang cukup besar untuk menguatkan massa tulang, karena duri ikan teri mengandung banyak kalsium.
“Jadi, promosi untuk pemberantasan osteoporosis tidak perlu berbiaya besar. Cukup mengampanyekan gaya hidup mengonsumsi ikan teri. Selain itu, juga memperbanyak mengonsumsi vitamin D,” pungkasnya. (SIR)
Mohon info biayanya. Terima kasih
Coba dihubungi langsung ke customer service RS Royal Taruma, Pak..