Jakarta, Kilasbekasi.id – Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA disahkan DPR RI dalam masa sidang 2023/2024 pada Selasa (4/6/2024).
Salah satu poin menarik dari UU KIA ini adalah mengatur sejumlah hal terkait hak dan kewajiban anak dan orang tuanya selama proses persalinan, terutama dari tempat kerja.
Dalam UU tersebut juga diatur mengenai hal cuti oleh ibu yang telah melewati persalinan. Pada Pasal 4 di UU tersebut dijelaskan hak dan kewajiban dimana seorang ibu yang baru melewati persalinan berhak mendapat cuti minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan.
Seperti tertuang dalam ayat 3 yang berbunyi: “Setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan: a. cuti melahirkan dengan ketentuan 1. paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan 2. paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter”.
Kemudian ditegaskan kembali pada ayat 4 UU KIA yang berbunyi: “Cuti melahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib diberikan oleh pemberi kerja”.
Ayat 5 menjelaskan maksud dari kondisi khusus di ayat 3, yakni kondisi seorang ibu yang mengalami masalah atau gangguan kesehatan, dan atau komplikasi pascapersalinan, serta keguguran.
Kemudian, anak yang dilahirkan mengalami gangguan atau masalah kesehatan, dan atau komplikasi. Cuti minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan berhak diberikan pemberi kerja.
Bagi ibu yang mengalami keguguran, sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan maka berhak mendapat waktu istirahat selama 1,5 bulan.
Hal terpenting dari semua poin tersebut adalah selama masa cuti pasca persalinan, seorang ibu tetap berhak mendapat upah penuh selama empat bulan pertama cuti. Dua bulan berikutnya upah yang diberikan 75 persen.
Tidak Bisa PHK
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjamin seorang ibu yang bekerja dan sedang melaksanakan cuti melahirkan tidak bisa diberhentikan dari pekerjaannya.
Hal itu tercantum dalam Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi, “Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan”.
Beleid itu juga mengatur tentang kewajiban pemerintah memberikan pendampingan hukum bagi ibu yang tidak mendapatkan haknya yaitu aturan upah atau gaji oleh perusahaan tempat bekerja selama cuti melahirkan.
Hal itu sesuai bunyi Pasal 5 ayat 3, “Dalam hal Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.