Jakarta, Kilasindo – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan UU KPK yang sudah direvisi tidak berlaku, karena pembetulan kesalahan dalam UU tersebut tidak melalui rapat paripurna DPR.
“Saya hendak menyampaikan pernyataan terkait polemik tidak berlakunya revisi UU KPK berkenaan dengan tidak terpenuhinya mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan,” kata mantan Anggota DPRD Surakarta tahun 1997-1999 ini dalam siaran persnya, Kamis (17/10/2019).
Seperti diketahui, kata Boyamin, terdapat kesalahan penulisan yang substansi dalam revisi UU KPK. Namun, oleh pemerintah dan DPR hanya dianggap kesalahan ketik, yaitu persoalan usia 50 tahun, dalam kurung tertulis empat puluh tahun, yang kata anggota DPR tertulis lima puluh tahun (Pasal 29 Ayat e).
Permasalahan tersebut menjadi substansi, karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku apakah angka “50” atau huruf “empat puluh” dengan formasi: 50 (empat puluh), maka yang berlaku menimbulkan dua makna yang berlaku, yaitu “50” atau “empatpuluh”.
“Dengan demikian, yang seharusnya diubah adalah angkanya menjadi 40. Jika yang dianggap benar adalah yang tertulis huruf ‘empat puluh’. Dengan demikian hal ini bukan sekadar kesalahan thypo, namun kesalahan substantif,” ungkap Boyamin.
Dikarenakan kesalahan substantif, menurut dia, cara pembetulan harus memenuhi persyaratan, yaitu dengan mengulang rapat paripurna DPR.
“Produk rapat paripurna hanya diubah dengan rapat paripurna. Koreksi yang bukan dengan rapat paripurna menjadikan revisi UU KPK menjadi tidak sah dan batal demi hukum,” tegasnya.
Boyamin menegaskan, dalam azas bernegara, termasuk azas hukum berlakunya undang-undang, apabila terjadi perubahan maka harus dengan cara yang sama atau sederajad.
“Hal itu pernah berlaku pada kesalahan penulisan putusan Kasasi Mahkamah Agung perkara Yayasan Supersemar, ‘tertulis 139 juta’ yang semestinya ‘139 milar’. Atas kesalahan ini, tidak bisa sekadar dikoreksi dan membutuhkan upaya Peninjauan Kembali ( PK) untuk membetulkan kesalahan penulisannya,” papar Boyamin.
Di sisi lain, kata dia, hingga saat ini belum terbentuk Alat Kelengkapan DPR, termasuk Badan Legislasi (Baleg). Sehingga, koreksi yang dianggap thypo oleh DPR saat ini adalah juga tidak sah dikarenakan saat pengiriman revisi UU KPK saat itu oleh Baleg DPR.
Untuk memenuhi syarat sahnya revisi UU KPK setelah ada kesalahan penulisan “50” atau “empatpuluh”, menurut dia, hanya bisa dilakukan apabila telah terbentuk Alat Kelengkapan DPR, termasuk Baleg, dan harus melalui rapat paripurna DPR. “Sepanjang hal ini tidak dilakukan, maka revisi UU KPK adalah tidak sah,” tegasnya.
Revisi UU KPK masih menyisakan masalah, yaitu tidak kuorumnya kehadiran secara fisik anggota DPR. Sebab, nyatanya yang hadir saat pengesahan rapat paripurna DPR hanya dihadiri 89 anggota. “Ini jelas-jelas tidak kuorum,” katanya.
Selain itu, Boyamin juga melihat masih adanyanya permasalahan dengan pembacaan revisi UU KPK. Sebab, kata dia, nyatanya Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna DPR tidak membacakan secara utuh materi revisi UU KPK.
“Padahal, sebelum dimintakan persetujuan harus dibacakan secara utuh untuk menghindari kesalahan sebagaimana terjadi saat ini,” katanya. (Sir)