Kilasindo.com – Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru (Orba) atau mundur 52 tahun, jika Pilpres 2019 dimenangkan oleh pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Demikian dikatakan Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens.
Hal itu menurutnya lantaran sejumlah dukungan dari organisasi kemasyarakatan garis keras, HTI, serta dukungan keluarga Cendana di belakang Prabowo Subianto. Dia menyebut itu sebagai indikasi yang dapat membuat kepemimpinan Indonesia layaknya Orde Baru.
Hal itu disampaikan Boni Hargens dalam diskusi bertema “Membaca Masa Depan: Seperti Apa Indonesia Jika Jokowi atau Prabowo Terpilih?” di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/1/2019).
“Dukungan HTI, Cendana menjadi indikasi kuat jika Prabowo menang akan mendaur ulang Orde Baru, maka Indonesia akan mundur 52 tahun, kembali ke dekade awal ketika Orde Baru dimulai,” kata Boni Hargens.
Baca juga: Timses Kampanye Nasional: Jokowi Terbiasa Hadapi Perdebatan
Dia mengatakan, Prabowo Subianto merupakan sosok yang memiliki beban kasus hak asasi manusia di masa lalu.
Kehadiran kubu Cendana dan keinginan untuk menerapkan kebijakan politik Soeharto, menurutnya akan menarik mundur supremasi hukum dan kematian HAM di masa depan.
“Ini jelas berbahaya, bisa-bisa kebebasan tidak bisa ditegakkan,” imbuhnya.
Selain itu, ia menyebut Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merupakan pasangan yang ahli dalam melakukan retorika.
Baca juga: Presiden Jokowi Jadi Imam Salat di Masjid Uswatun Hasanah Binjai Utara
Meskipun dalam kampanye hak tersebut memang bernilai positif, Boni Hargens mengkhawatirkan jika dalam pemerintahan, Probowo Subianto dan Sandiaga Uno justru hanya bisa bicara dan tidak bisa bekerja.
Lebih jauh, Boni menuding dalam sejumlah kampanye jelang Pilpres 2019, paslon nomor urut 02 itu lebih sering melakukan kampanye hitam, sehingga dapat mengindikasi ikatan dukungan politik, mulai dari dasar paksaan cemas, resah, takut, benci terhadap lawan politik atau siapa pun yang dikategorikan sebagai musuh mereka.
“Prabowo-Sandi sangat kuat beretorika, berkampanye, mereka berhasil membangun persepsi dengan begitu cepat dan mengobok-obok emosi kolektif masyarakat. Hal ini positif untuk proses pertarungan politik, tetapi negatif karena di saat melahirkan pemerintahan, keduanya hanya ahli bicara tapi bukan ahli bekerja,” tuturnya.