Jakarta, Kilasindo – Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan (Events) Kemenparekraf, Rizki Handayani menilai video storytelling menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan dan memperkenalkan nilai-nilai atau makna yang terkandung di setiap destinasi wisata yang ada di Indonesia.
“Sangat penting bagi pelaku pariwisata untuk dapat mengangkat nilai-nilai atau daya tarik destinasi wisata yang ada di setiap daerah. Salah satunya dengan penceritaan visual melalui video storytelling,” kata Rizki Handayani saat webinar wisata heritage bertema ‘Mengangkat Nilai-Nilai Produk Wisata Warisan Budaya Dunia melalui Video Storytelling’, Kamis (8/7/2020).
Webinar ini merupakan salah satu bentuk implementasi program Kemenparekraf untuk mendiversifikasikan produk pariwisata. Fokus utama saat ini adalah mempromosikan destinasi pariwisata dan memperkenalkan produk-produk pariwisata. Sebab, pariwisata merupakan pengalaman yang memiliki nilai atau cerita yang terkandung di balik destinasi wisata yang ada, seperti Subak di Bali.
“Orang bilang, subak merupakan sawah berundak, tetapi ternyata sawah berundak di Bali memiliki satu nilai yang berbeda. Nilai-nilai destinasi wisata ini yang harus kita perkenalkan kepada masyarakat Indonesia. Agar ada rasa bangga, betapa hebatnya nenek moyang kita dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya Indonesia,” kata Rizki Handayani.
Webinar Wisata Heritage menghadirkan dua narasumber, di antaranya Ketua Indonesia Heritage Trust/Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Catrini Pratihari Kubontubuh, menyampaikan materi yang bertajuk “Sejarah Lanskap Sistem Subak dan Produk Wisata di Sekitar Jatiluwih” dan materi kedua mengenai video storyteling dipaparkan oleh Content Writer Astrid Savitri.
Catrini Pratihari Kubontubuh mengatakan subak tidak sekadar sawah berundak atau irigasi. Namun, subak merupakan organisasi petani pengelola irigasi yang bersifat sosio kultural dalam suatu kawasan sawah tertentu, memiliki sumber air, memiliki pura subak, dan bersifat otonom.
“Setiap orang Bali yang bercerita mengenai subak tentu menggambarkan gunung, sawah, pura tempat sembahyang, dan ada kegiatan manusia. Sebenernya ini adalah intisari dari subak,” kata Catrini.
Pertama kali muncul istilah terkait pertanian tertulis pada Prasasti Sukawana di Bangli tahun 882 yang menyebutkan lahan dan pertanian huma (sawah) dan perlak (ladang). Sementara Prasasti Klungkung tahun 1071 dan Prasasti Pandak Bandung (Tabanan) tahun 1072 telah menyebutkan istilah Seuwak yang akhirnya dikenal sebagai subak.
“Saat ini, jumlah subak di seluruh wilayah Bali adalah 1.599 subak, dengan luas sawah 76.000 hektare,” ujar Catrini.
Pada 29 Juni 2012, UNESCO menetapkan subak sebagai salah satu dari World Heritage. Uniknya Subak ini tidak ditetapkan sebagai World Heritage bagian dari nature atau culture, tetapi sebagai bentuk manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana.
Filosofi Tri Hita Karana merupakan harmonisasi kehidupan masyarakat Bali yang menekankan kepada tiga aspek penting, yaitu Parahyangan; hubungan manusia dengan sang pencipta, Pawongan; hubungan manusia dengan sesama, dan Palemahan; hubungan dengan lingkungan.
Hubungan manusia dengan sang pencipta (Parahyangan) menegaskan untuk selalu sujud dan bersyukur terhadap Tuhan, sang pencipta.
“Sujud syukur ini bisa terlihat dari upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada para dewa-dewa atas nikmat panen yang telah diberikan. Sebanyak 15 ritual dilakukaan masyarakat Bali dari mulai menanam hingga menuai hasil panen,” kata Catrini.
Begitu juga hubungan manusia dengan sesama manusia (Parahyangan). Masyarakat berkumpul, berorganisasi sehingga terbentuk sebuah alur demokrasi untuk menyampaikan kebijakan-kebijakan yang akan bermuara kepada hubungan dengan lingkungan (Palemahan) untuk saling membantu demi menjaga, merawat, serta melestarikan lingkungan.
“Sangat jarang di Bali kita melihat sawah itu kotor, tidak ada sampah di saluran airnya. Karena itu, semua menjadi tanggung jawab bersama dari anggota subak. Biasanya ada denda tersendiri jika saluran air terdapat sampah dan kepala subak punya hak untuk menertibkan hal tersebut,” ujar Catrini.
Catrini juga menambahkan daya guna wisata yang dimaksud adalah bagaimana sebuah destinasi wisata yang disebut permaculture. Kerja sama antara kegiatan pertanian dan pariwisata, dimana wisatawan diberikan kesempatan untuk melihat, merasakan, dan memiliki pengalaman langsung melakukan kegiatan pertanian bersama petani.
Untuk menceritakan nilai-nilai yang terkandung di balik subak dibutuhkan sebuah media yang dapat menggambarkan keindahan serta keunggulannya, seperti melalui penceritaan visual.
Content Writer Astrid Savitri, menjelaskan penceritaan visual adalah sebuah kisah yang diceritakan melalui media visual, seperti foto, video, simbol, warna, ataupun ilustrasi. Penceritaan visual sangat penting bagi manusia.
“Karena 90% otak manusia menerima informasi dalam bentuk visual,” ujar Astrid.
Melalui informasi visual, seseorang akan lebih mudah dan lebih cepat untuk memahami sebuah informasi serta membuat informasi lebih menarik.
Pada pembahasan webinar kali ini fokus utamanya ialah menceritakan kisah melalui media visual yang berupa video. Video storytelling merupakan teknik bercerita menggunakan format video yang menarik. Biasanya digunakan untuk menceritakan sebuah brand, destinasi wisata, atau produk wisata.
“Dengan video storytelling, kita dapat memperkenalkan destinasi dan produk wisata dengan menceritakan nilai yang terkandung di dalamnya. Membuat kisah yang dapat menyentuh hati, menyulut hubungan emosional, dan menghadirkan solusi bagi wisatawan yang menyaksikan video tersebut,” kata Astrid. (Sir)