Reporter: Nurhadi
Kilasindo.com – Kota Solo adalah kota yang cocok untuk dinikmati ketenangan dan keindahanya. Tempat lahir Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini kaya akan bangunan bersejarah. Salah satunya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang masih kental dengan tradisi Jawa. Selain itu, penduduk solo yang kalem, ramah, dan selalu menjaga buda tradisinya.
Dalam sejarah Kota Solo, dahulu prosesi pernikahan adat Jawa Solo ini hanya boleh diselenggarakan oleh keluarga kerajaan saja. Berbicara seputar adat Solo, tentu tak bisa terlepas dari wilayah yang erat kaitannya dengan warisan tradisi keraton Surakarta.
Namun kini prosesi pernikahan adat Jawa Solo mulai diaplikasika oleh siapa saja. Termasuk bagi calon pengantin yang ingin turut melestarikan warisan leluhur budaya Solo saat hari pernikahannya. Salah satunya keluarga Soemantoro yangmenikahkan putrinya menggunakan runutan adat dan budaya.
“Budaya dan adat memiliki makna yang sakral dan nilai yang tinggi bagi pembelajaran kehidupan ini dan kewajiban kita untuk melestarikannya,” kata Soemantoro.
Baca juga: Menyelam Keindahan Bawah Laut di Taman Nasional Wakatobi
Berbagai runutan acara prosesi selalu dilakukan secara hikmat yaitu, Sowan Luhur (meminta doa restu dari para sesepuh dan ziarah leluhur), Wilujengan (ritual yang dilaksakanan sebagai wujud permohonan kepada Tuhan dan diberikan kelancaran), Pasang Tarub (tradisi membuat bleketepe atau anyaman daun kepala untuk dijadikan atap peneduh resepsi manten. makna gotong royong kedua orangtua yang menjadi pemangku hajat).
Kemudian, Pasang Tuwuhan (acara pasang tarub, acara pun berlanjut dengan upacara Pasang Tuwuhan atau memasang tumbuh-tumbuhan yang diletakkan di gerbang utama rumah atau dekat tempat siraman.
Pada sejarah Kota Solo, Tuwuhan merupakan simbol suatu harapan kepada anak yang dijodohkan dalam memeroleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah keluarga), Siraman (Siraman memiliki makna menyucikan diri calon pengantin baik lahir dan batin), Sade Dawet (menjual dawet/saat calon pengantin dibuat cengkorongan paes itu, kedua orangtua menjalankan tata cara dodol dawet atau menjual dawet.
Di samping dawet sebagai hidangan, juga diambil makna dari cendol yang berbentuk bundar merupakan lambang kebulatan kehendak orangtua untuk menjodohkan anak).
Baca juga: Raja Ampat, Keindahan Obyek Wisata yang Mendunia
Lalu, Sengkeran (dipingit artinya ia tidak boleh keluar rumah), Midoderani atau Majemukan (widodari yang berarti bidadari cantik dari surga dan sangat harum. Biasanya, prosesi ini digelar pada malam terakhir sebelum pengantin perempuan melepas masa lajang.
Pada malam ini, calon pengantin wanita tidak diperkenankan bertemu dengan calon pengantin pria), Ijab panikah (ijab panikah atau ijab qabul mengacu pada agama yang dianut kedua mempelai), Panggih (dalam prosesi pernikahan Jawa, panggih merupakan puncak acara. Di prosesi ini sepasang pengantin yang sudah resmi sebagai suami istri untuk bersanding di pelaminan).
Baca juga: Pesona Abadi Pantai Kuta di Pulau Bali yang Eksotik
Mengenalkan Sejarah
Lain halnya dengan keluarga Subekti, wisatawan lokal dari Jakarta ini mengajak seluruh keluarga untuk mengenalkan sejarah. “Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah karena sejarah merupakan pelajaran hidup yang sangat penting,” ujarnya.
Bersama cucunya mengenalkan sejarah Kota Solo dengan mengunjungi dan mengenalkan wayang, keraton solo tak hanya berkeliling, tapi juga bisa mendengar banyak cerita dari pemandu.
Selain itu, ada bangunan yang masih megah, Benteng Vastenburg adalah benteng peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Gladak, Surakarta. Benteng ini dibangun tahun 1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff.
Sebagai bagian dari pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta, khususnya terhadap keraton Surakarta, benteng ini dibangun, sekaligus sebagai pusat garnisun. Di seberangnya terletak kediaman gubernur Belanda (sekarang kantor Balaikota Surakarta) di kawasan Gladak.
Bentuk tembok benteng berupa bujur sangkar yang ujung-ujungnya terdapat penonjolan ruang yang disebut selekoh (bastion). Di sekeliling tembok benteng terdapat parit yang berfungsi sebagai perlindungan dengan jembatan di pintu depan dan belakang.
Bangunan terdiri dari beberapa barak yang terpisah dengan fungsi masing-masing dalam militer. Di tengahnya terdapat lahan terbuka untuk persiapan pasukan atau apel bendera.
Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai markas TNI untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa 1970-1980-an bangunan ini digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.
Setelah kita mengetahui sejarah Kota Solo, semestinya kita selalu melestarikan budaya Kota Solo. Jika mampir ke Kota Solo, jangan lupa untuk mencoba kulinernya. Semuanya serba tradisional dengan harga murah meriah.